Persaingan Pengaruh Konten Jurnalistik vs Platform Digital di masyarakat Kekinian

Persaingan Pengaruh Konten Jurnalistik vs Platform Digital di masyarakat Kekinian

Penulis: Nugroho Agung Prasetiyo, S.Sos, Msi (Praktisi Komunikasi ISKI Pusat)

Awal tahun 2024, sebuah hoaks  menyebar luas di platform digital mengklaim bahwa pengungsi Rohingya ikut mencoblos dalam Pemilihan Presiden Indonesia. Informasi palsu ini beredar melalui media sosial, khususnya YouTube, dengan tampilan visual yang meyakinkan dan cepat menarik perhatian publik, memicu kebingungan dan keresahan.

Hoaks ini menyebar mencapai audiens yang luas, terutama karena penggunaan internet yang tinggi di Indonesia. Dampak negatif dari hoaks ini meliputi peningkatan kebingungan dan keresahan di kalangan masyarakat yang mempercayai klaim tersebut sebelum mendapat klarifikasi dari sumber resmi atau media konvensional.

Di sisi lain, sejumlah media konvensional seperti surat kabar dan televisi mencoba melakukan investigasi dan mengkonfirmasi bahwa hal  tersebut tidak tepat.  Verifikasi oleh media konvensional membantu meredam kepanikan dan mengedukasi publik dengan informasi yang benar dan terverifikasi.

Lepas dari semakin tingginya peredaran berita palsu (hoax) di Indonesia, perkembangan digital  telah membuat   preferensi publik mulai bergeser  dalam mendapatkan informasi.  Produk jurnalistik, yang dalam beberapa dekade beberapa waktu lalu begitu kuat dalam membentuk dan mempengaruhi opini publik,  saat ini seperti menghadapi disrupsi/gangguan akibat perkembangan inovasi teknologi.

Fakta yang muncul sekarang ini adalah proses komunikasi massa untuk membentuk maupun memengaruhi opini publik cepat sekali  berubah  seiring dengan pertumbuhan teknologi informasi digital yang semakin cepat.  Bahkan, media massa yang menghasilkan produk jurnalistik, acapkali dalam memproduksi kontennya mengutip informasi dari akun-akun di media sosial. Di sisi yang lain, publik pun menjadi lebih cepat terpapar informasi lewat saluran sosial media ketimbang produk informasi yang dihasilkan dari media massa.

Beberapa waktu lalu contoh nyata lainnya telah menunjukkan adanya perubahan preferensi pembaca ketika polemik produk podcast di saluran Youtube milik entertainer Deddy Corbuzier, muncul setahun lalu. Hasil wawancara Deddy dengan mantan Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari nyatanya membuat gaduh publik dan pejabat terkait. Pada saat itu, diskursus pun mencuat apakah karya podcast yang dibuat Deddy yang bukan berstatus jurnalis itu bisa dikategorikan sebagai karya jurnalistik atau bukan?

Fakta lainnya terkait perubahan preferensi publik dalam mendapatkan informasi juga dapat terlihat lewat  beberapa kegaduhan yang muncul dari  beberapa akun anonim di sosial media. Sebut saja akun bernama Lambe Turah, Trio Macan dan beberapa akun anonim lainnya yang sering kali menjadi rujukan informasi bagi publik maupun media massa.

Lantas, ketika preferensi konsumen pencari informasi itu telah berubah, apa yang harus dilakukan oleh produk-produk jurnalistik di negeri ini? Haruskah media arus utama (mainstream media) turut  mengikuti kekuatan disrupsi  komunikasi informasi yang dimunculkan media baru?

 

Menjaga etika jurnalistik

Berkaca dari penangkapan “direktur televisi” di awal tulisan ini, rasanya produk-produk jurnalistik dalam bentuk media massa sepertinya akan bisa bertahan. Alasannya, ketika media massa bisa menjalankan nilai etika jurnalistik maka di sanalah akan muncul kemampuannya untuk survive menghadapi disrupsi yang muncul seiring perubahan  jaman.

Saat ini batasan preferensi publik terkait  arus  informasi  media sosial  ataupun produk jurnalistik media mainstream layaknya sebuah sirkuit yang berpacu dengan waktu di antara etika konten dan kebutuhan publik akan informasi. Di balik hal tersebut terdapat esensial dari nilai etika jurnalistik yang menjadi kekuatan penting media mainstream, adalah karya atau informasi yang disajikan harus akurat, berimbang, dan terverifikasi. Dalam konteks akurat maka informasi yang disuguhkan harusnya jauh dari informasi menyesatkan alias kabar bohong (hoaks). Akurasi informasi tersebut menjadi lengkap ketika menyampaikan keberimbangan (cover bothside) dari sebuah peristiwa atau informasi. Begitu juga kelengkapan data dan fakta sebagai bentuk verifikasi setiap informasi yang bergulir  ke  ranah  publik.

Sesungguhnya dengan menjalankan nilai-nilai etika jurnalistik  maka akan terlihat juga perbedaan antara karya jurnalistik dan produk informasi yang diunggah melalui saluran komunikasi digital seperti di kanal Youtube  atau akun media sosial lainnya. Konsekuensi dari perbedaan ini  tentunya  bermuara pada sengketa pemberitaan atau informasi. Sebagaimana diketahui, karya jurnalistik itu memiliki payung hukum Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers (UU Pers). UU Pers masih diyakini banyak pihak sebagai lex specialis dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Artinya apabila terjadi sengketa maka karya jurnalistik dapat diselesaikan melalui mekanisme UU Pers, bukan KUHP maupun Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) atau UU No. 11 Tahun 2008. Meski demikian, harus diakui juga, tak sedikit sengketa karya jurnalistik di negeri ini ternyata masih ada yang harus diselesaikan di ruang pengadilan.

Konten informasi  yang mengabaikan etika jurnalistik  sangat membuka ruang untuk menjeratnya ke jalur pidana. Boleh jadi, konten naratif  yang  dianggap  mengandung informasi tidak benar/hoax  menguatkan aparat kepolisian dalam menjalankan proses hukumnya untuk menangkap “direktur televisi” tersebut.

Terlepas dari persoalan etika, produk jurnalistik sudah seharusnya juga mengakselerasi perubahan kecepatan informasi pada masa kini. Ketika preferensi pembaca mulai bergeser maka di sanalah tantangan bagi para pekerja jurnalistik untuk menyajikan konten yang informatif.

Dalam hal ini, cara-cara menyajikan konten bergaya clickbait, rasanya hanya akan meruntuhkan citra dan reputasi media itu sendiri. Jumlah pembaca (viewer) memang saat ini sudah menjadi semacam ‘Tuhan’ untuk mengukur sebuah karya jurnalistik online itu diminati atau tidak oleh publik. Namun cara-cara pragmatisme semacam itu justru hanya akan membawa produk jurnalistik itu berada ke persimpangan jalannya menuju senjakala media. Inilah yang harusnya dihindari.

Melihat kondisi faktual maka perubahan pola komunikasi yang terjadi pada masa sekarang telah mempercepat terwujudnya konvergensi media. Henry Jenkins, guru besar komunikasi dan jurnalistik dari University of Southern California, dalam artikel berjudul Convergence Culture: Where Old Media and New Media Collide (2006), menjelaskan bagaimana konvergensi media itu tidak hanya tertuju pada pergeseran teknologi atau proses teknologinya saja. Namun dalam konvergensi media ini mendorong terjadinya pergeseran terhadap paradigma industri, budaya, dan sosial yang menstimulus konsumen (pembaca) untuk mencari informasi baru.

Artinya, produk-produk jurnalistik pada masa kini sudah seharusnya merespons bagaimana individu itu berinteraksi dengan orang lain pada tingkat sosial yang kini telah menggunakan berbagai platform media dalam menciptakan pengalaman barunya. Ketika gagasan besar ini gagap dilalui maka produk jurnalistik itu akan dapat ditinggalkan oleh generasi masa kini dan masa depan yang diyakini akan semakin bergantung pada kecepatan pertumbuhan teknologi informasi.

Di sisi lainnya juga, jargon pers sebagai pilar keempat demokrasi sudah seharusnya dijalankan secara maksimal. Sebagaimana wartawan senior Parni Hadi berpendapat, jurnalis itu sesungguhnya mengemban tugas kenabian, yakni menyampaikan kebenaran, kabar gembira, serta pemberi peringatan. Ketika tugas suci itu tidak optimal dijalankan maka jangan heran kalau umat (publik pembaca) akan bergeser, dan kelak disrupsi  jurnalistik  benar  mengganggu, bahkan  berpotensi menjadikan produk jurnalistik sebagai sebuah kenangan panjang romantisme sejarah komunikasi massa.

Media baru memang menjadi tantangan menarik  pertarungan antara  media arus utama dan media sosial. Namun rasanya publik masih sangat membutuhkan  saluran informasi yang akurat dan terpercaya dari  produk-produk jurnalistik  dalam menghadapi dinamika informasi semu yang semakin menggila di media sosial. Jurnalistik tak boleh mati, karena “tugas suci” penggiat jurnalistik saat ini sedang menanti, menjaga etika dan memperkuat komitmennya dalam menyajikan konten berkualitasnya  menghadapi disrupsi konten jurnalistik di era digital.

 

 

Subscribe

Thanks for read our article for update information please subscriber our newslatter below

No Responses

Leave a Reply